Monday, November 17, 2014

Bukan Hanya Monas

Indonesia menyimpan banyak emas. Bukan sebatas pelapis api di puncak Monumen Nasional. Bukan pula terbatas pada logam mulia dalam pulau nun di bagian Timur yang lebih dinikmati pihak asing. Dari rahim Ibu Pertiwi, generasi emas lahir. Tumbuh. Menyerap keberagaman dan bertahan di tengah tekanan. Empat tahun yang lalu, Bank Dunia mencatat 27% populasi Indonesia berusia di bawah 15 tahun, sementara 67,4% populasi bangsa ini berusia 15-64 tahun. Bayangkan, 9 dari 10 penduduk negara ini adalah generasi produktif! Betapa banyak kemungkinan yang bisa dicapai. Begitu banyak perkembangan yang dapat terjadi. Saat negara-negara yang kini dianggap maju mengalami krisis penduduk akibat kekurangan generasi muda, inilah kesempatan dalam kesempitan yang dibutuhkan Jamrud Khatulistiwa. Masih kuat terpatri dalam benak kita kesuksesan Negara Tirai Bambu dan Negara Ginseng yang dahulu kurang dianggap dalam persaingan internasional. Namun, lihatlah pengaruh mereka kini! Siapa yang dapat melupakan RRC saat membicarakan ekonomi dan investasi? Siapa yang dapat mengabaikan Korea Selatan saat membahas teknologi? Tentunya kesuksesan tidak ‘datang’ begitu saja. Cita-cita bukanlah sekadar bunga tidur, melainkan visi yang harus dikejar. Diperjuangkan. Kerja cerdas dan semangat pantang menyerah perlu ditanamkan sejak dini. Selama ini kita sering diperkenalkan pada tokoh-tokoh muda dan berprestasi dari luar negeri. Belum lama ini, aktivis pendidikan perempuan asal Pakistan, Malala Yousafzai, menjadi peraih nobel perdamaian termuda pada usia 17 tahun. Pergerakan pro-demokrasi di Hong Kong yang mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini juga dirintis pemuda usia 17 tahun, Joshua Wong. Namun, bagaimana dengan Indonesia? Mengutip kata-kata pengamat ekonomi sekaligus guru besar Ilmu Ekonomi FE UI, Rhenald Kasali, orang Indonesia adalah rajawali yang merasa dirinya anak ayam. Ya, seringkali kitalah yang meremehkan kemampuan diri sendiri, menganggap rendah produk lokal. Padahal, tak jarang kualitas kita sebanding atau bahkan lebih baik dari kompetitor asing. Lihatlah mereka yang sukses sejak muda. Merry Riana, mahasiswi pas-pasan yang mencapai penghasilan 1 juta dolar pada usia 26 tahun. Donny Pramono, wiraswata pendiri Sour Sally –toko frozen yoghurt—pada usia 26 tahun. Masih merasa orang Indonesia inferior dari penduduk negara lain? Marilah kita belajar dari “anak singkong”, Chairul Tanjung, yang kini merupakan pendiri sekaligus CEO CT Corp. Ada pula Bong Chandra, motivator termuda se-Asia dan pemilik tiga usaha. Memang klise, tetapi ungkapan “mereka bisa, mengapa kita tidak?” ada benarnya. Sebagai sesama manusia, apa yang membedakan orang-orang sukses dengan diri kita saat ini? Waktu ada di pihak kita, kaum muda. Inilah saatnya kita bereksperimen. Menantang diri. Keluar dari zona nyaman. Dari keamanan “menjadi biasa-biasa saja”. Belajar, tidak terbatas dalam pendidikan formal saja. Semua tahu pengalaman adalah guru terbaik. Kecemasan dan takut gagal pasti menerpa. Namun, jangan sampai kita mundur karena hal-hal yang bahkan belum pasti. Selama ini kita belajar dalam ‘budaya malu’. Malu gagal. Malu salah. Padahal, inilah saatnya kita mencoba semuanya. Albert Einstein bahkan menuturkan mereka yang tidak pernah salah tidak pernah mencoba sesuatu yang baru. Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Karl Marx menyatakan para filsuf hanya menginterpretasi dunia dalam beragam pandangan; tetapi, yang penting adalah mengubah dunia. Inilah saatnya. Di mana pun kini kita berada, di situlah tempat kita mulai mengukir sejarah umat manusia. Langkah pertama menapaki anak tangga menuju puncak dunia. Mencapai masa keemasan Indonesia. Sekadar trivia, pada abad ke-7, Indonesia mencapai puncak keemasan dalam era Majapahit. 7 abad kemudian, masa keemasan kembali mengayom nusantara bersama era Sriwijaya. Kini, 7 abad sejak periode itu, adalah saatnya Indonesia sekali lagi mencapai puncak keemasannya. Tentunya, angan saja takkan mengundang masa keemasan. Mari kita berjuang. Generasi muda berprestasi. Generasi emas Indonesia.

0 comments :

Post a Comment